Latest News

Saturday, January 26, 2019

Suasana adu gagasan antar organisasi. NU versus MTA !!!

RANTING NU, UJUNG TOMBAK ORGANISASI

Secara organisatoris politis, NU baru berdiri di Surabaya pada 1926 ketika para ulama mendirikannya, tetapi secara sosiologis kultural, eksistensi NU sebenarnya sudah lama ada ketika pemikiran-pemikiran Ahli Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja) memperoleh tempat dikalangan umat Islam di negeri kita. Sedangkan munculnya organisasi NU tahun 1926, boleh dikata hanya melembagakan dari para penganut Aswaja yg terorganisir dlm kelompok-kelompok jama'ah para kyai. Tentu saja tdk sekedar melembagakan Aswaja yg mendorong berdirinya NU, namun juga ada proses-proses sosial lain yg menyertainya.
Munculnya kelompok-kelompok baru yg ketika itu kritis terhadap praktik-praktik penganut Aswaja dan situasi kolonialisme, misalnya, telah mempercepat proses pelembagaan, selain sbg upaya menggapai kemaslahatan umat. Dengan demikian ada kompleksitas faktor yg mendorong kelahiran NU.
Sejak berdirinya pada 1926, NU mengalami perkembangan jumlah yg sangat menggembirakan.  Sampai saat ini, jumlah warga Nahdliyin mencapai tdk kurang dari 40% dari seluruh penduduk muslim negeri ini. Namun perkembangan jumlah warga NU yg sangat pesat itu, disisi lain dianggap agak memprihatinkan, karena sekian banyak orang yg mendadak bergabung dengan NU, ternyata tidak mesti bisa diurus secara organisatoris administratif. Tenaga yg bisa mengurus, tidak sebanding dengan besarnya jumlah mereka yg harus diurus. Kepatuhan mereka masih lebih tertuju kepada kyai mereja masing-masing, yg selama ini membina dan mengendalikan mereka. Belum bisa tertuju kepada organisasi. Dalam pada itu, para kyai masih banyak yg menyimpan rasa kemandiriannya, belum dapat meleburkan diri sebagai anggota organisasi. Akan tetapi, meski kemandirian para kyai ini terkadang menyulitkan pengurus struktural mulai PB, Wilayah (PW), Cabang (PC), MWC, sampai Ranting, namun ada hikmah yg besar dibalik itu. Yakni ketika para pengurus struktural tidak mampu menguasai masalah besar, maka para ulama kultural ini lah yg mengatasinya.
Oleh karena merupakan organisasi besar, maka setiap saat, NU menghadapi banyak persoalan hingga banyak yg harus dibenahi dalam tubuh organisasi. Kalau melihat struktur organisasinya, sebenarnya NU sudah menjadi organisasi yg lengkap, karena telah mempunyai banyak perangkat. Mulai dari 14 buah Badan Otonom (Banom) seperti Muslimat, Ansor, Lesbumi, Sarbumusi, dll. Serta 18 Lembaga, seperti Lembaga Perekonomian, Lembaga Da'wah, Lazis, Lembaga Ma'arif, dll.
Banom ialah unit kegiatan di NU yg bertugas mengurus kelompok tertentu dari kalangan NU yg memiliki otonomi atau hak mengatur rumah tangganya sendiri, punya pengurus, punya peraturan dasar, dll. Banom punya hierarkis/jenjang vertikal dari bawah keatas tanpa melalui NU-nya.
Adapun lembaga Ansor, ialah unit yg bertugas mengurus sebagian program NU dan merupakan ujung tombak bagi NU ditingkatanya masing-masing. Hubungan suatu Lembaga dengan Lembaga ditingkat atas atau ditingkat bawahnya, bukanlah hubungan hierarkis, yakni bukan sebagai atasan atau bawahan, tetapi hanya bersifat teknis. Lembaga tidak mempunyai anggota, hanya punya pengurus yg diangkat oleh pengurus NU ditingkatnya masing-masing. Lembaga bertanggung jawab kepada NU ditingkatnya masing-masing.
Sebagaimana diketahui, secara vertikal, NU mempunyai struktur mulai Pusat, Wilayah, Cabang, MWC sampai Ranting. Dengan struktur kepengurusan NU yg sampai ke tingkat Ranting di desa ini, maka jika diibaratkan sebuah mobil, NU sudah memiliki mesin dan segala komponen lainnya. Pengurus PB, PW, PC sebagai mesin, sedangkan MWC sebagai "Peleg", dan Ranting sebagai "Ban" yg langsung bersentuhan dengan jalan yg dilalui, dalam hal ini adalah warga Nahdliyin itu sendiri yg jumlahnya sangat banyak bagaikan jalanan yg sangat panjang. Dengan demikian, dalam struktur kepengurusan di NU, keberadaan pengurus Ranting sangat strategis, baik dilihat dari aspek status maupun fungsinya. Posisi Ranting adalah ujung tombak bagi lancar dan efektivitas program-program Jam'iyah, karena kegiatan NU yg dilaksanakan sebagai agenda organisasi maupun aktivitas anggota yg sifatnya tradisi, banyak dilakukan ditingkat desa atau Ranting. Merekalah yg melayani masyarakat, memberikan jawaban sekaligus memfasilitasi kegiatan yg bertradisikan NU, seperti diba'an, tahlilan, yasinan dan lain-lainnya yg melekat dan menjadi trade mark warga dan Jam'iyah. Mereka juga memakmurkan masjid, mushalla ataupun langgar dengan berbagai aktivitas bercirikan tradisi warga NU.
Selain sebagai media untuk mempertemukan para pengurus NU dengan warganya, para ujung tombak kegiatan ini, diharapkan mampu meningkatkan kinerja para pengurusnya untuk menopang berbagai kebijakan jam'iyah ditingkat Pengurus Besar, Wilayah Cabang, maupun Wakil Cabang dengan berbagai pertemuan, khususnya di acara rutinan Lailatul Ijtima'. Dengan pertemuan dalam forum ini, diharapkan seluruh program NU yg digulirkan akan sinergis. Pembenahan dan penguatan NU, memang harus dimulai dari tingkat ranting ini, dari bawah keatas, atau dari pinggir ketengah. Karena dibagian atas dan tengah, biasanya disana sering muncul orang kuat secara alamiyah. Kegiatan pertemuan seperti Lailatul Ijtima', juga dapat dimanfaatkan untuk memberi pencerahan mengenai berbagai persoalan, khususnya banyak bermunculannya gerakan kelompok berhaluan keras yg selalu mengkritisi bahkan memperdebatkan ajaran Ahlus Sunnah. Dalam hal ini Ranting bisa berperan untuk mengupayakan proteksi terhadap warganya untuk tidak terpikat oleh faham mereka yg jauh dari ajaran para pendahulu kita itu.
Seperti diketahui, Faham Moderat, Tawassut, Tawazun, dan Tasammuh, dalam suatu aspek kehidupan, kini secara gencar selalu mendapatkan perlawanan dari berbagai kelompok Islam garis keras itu. Mereka biasanya berpenampilan khas yaitu menggunakan celana cingkrang. Para jema'ah yg berpenampilan seperti ini yg sering masuk ke masjid kita untuk ikut shalat berjamaah, memang harus selalu diwaspadai, karena pernah ada peringatan dari tokoh kyai NU yg bilang: "Kalau jema'ah golongan kita yg banyak masuk ke masjid, paling-paling sandal lah yg hilang. Kalau orang Muhammadiyah yg masuk, paling banter qunutnya yang hilang.Tetapi kalau orang-orang bercelana cingkrang yg masuk, bisa masjidnya yg hilang, seperti yg pernah banyak terjadi di daerah Mojokerto".
Meski HTI telah dibubarkan, kelompok berhaluan keras agaknya masih terus marak dimana-mana. Misalnya saja, Majlis Tafsir Al Qur'an (MTA) di Solo, yg didirikan oleh mendiang Ustadz Abdullah Thufail Saputra. Sejak tampuk kepemimpinanya dipegang oleh A. Sukino, Majlis Tafsir ini tampil lebih berani, dengan mengkritik habis tradisi dan amaliyah NU. Secara dengan ungkapan yg dirasakan sangat menyakiti pengamalnya. Bahkan pengikut MTA ditingkat bawah juga mulai berani menentang dan menuduh apapun yg tidak sejalan dengan MTA, dengan stigmatisasi sesat dan syirik. Majlis Tafsir yg setiap Minggu pagi pengajian di kantor pusatnya, di Solo, yg dipancarkan melalui channel televisi miliknya, dihadiri oleh sekitar 3000 jema'ah dari berbagai daerah, hingga dari luar Jawa ini terus mengembangkan sayap cabang-cabangnya ke berbagai wilayah. Warga MTA ditingkat bawah atau cabang pun juga telah mempunyai majlis pengajian pada hari-hari tertentu, dengan buku atau brosur pengajian wajib mereka. Di berbagai daerah, majlis ini juga giat mengadakan pengajian yg dipancarkan lewat radio miliknya.
Dengan gencarnya dakwah mereka seperti itu, sampai pernah ada salah seorang pengikut pengajian MTA
yg mengaku bahwa dia yg semula secara rutin aktif mengikuti acara Tahlilan, maupun Yasinan, dan sejenisnya, yg biasa diadakan di desa atau daerahnya, telah merasa mendapat hidayah dari Allah SWT. Setelah mendengarkan berbagai macam ceramah dari A. Sukino di kantor pusatnya di Solo, sehingga pada akhirnya, ia meninggalkan amalan-amalan yg telah menjadi tradisi di kalangan masyarat desanya itu. (Halim Sadega, Kediri)

1 comment:

Recent Post